KOTAJOGJA.COM – Selepas Ashar, aku dan temanku Beny melaju diatas sepeda motor menuju daerah Nanggulan Kulonprogo. Perjalanan kami di sirami cahaya matahari yang terus memancarkan sinarnya tiada lelah. Matahari yang kulihat hari itu, matahari yang sama ketika terbentuknya alam semesta ini. Matahari yang menjadi saksi ketika Kraton Yogyakarta berdiri di depan menjadi taruhan keberadaan Republik Indonesia di awal kemerdekaan, dan menjadi saksi kedua anak manusia yang ‘blusukan’ dari satu tempat ke tempat lain.
Kami berdua terus mengikuti arah matahari terbenam dengan semangat untuk menambah khasanah perbendaharaan tempat-tempat yang menarik untuk diabadikan melalui jepretan kamera kami. Rute yang kami ambil adalah sepanjang jalan Godean dan berakhir di perempatan Kenteng, Kembang, Nanggulan Kulon Progo Yogyakarta. Setelah melewati perempatan tersebut kami memulai perjalanan dengan pemandangan bukit menoreh yang memanjang dari gugusan utara sampai ke selatan membentuk perbukitan seribu.
Sepeda Motor kami terus berpacu dengan waktu untuk segera sampai di Lokasi Goa Maria Lawangsih Kulon Progo, jalanan yang terjal akhirnya membuat motor kami kelelahan ketika berada di tikungan yang menanjak. Dengan di tandai suara motor yang semakin melemah, akhirnya aku turun untuk mendorong sepeda motor agar mudah untuk melewati jalanan yang terjal ini. Kurang lebih 100 meter tenaga mesin campur dorongpun berakhir. Di tepian jalan kami berhenti sebentar untuk menyusun tenaga dan mengatur nafas untuk melanjutkan perjalanan ini.
Perjalanan masih kami lalui dengan jalan yang terus menanjak dengan beberapa kelokan yang tajam, angin pun ikut menusuk tajam ditubuh kami yang sudah kami lindungi dengan jaket. Sinar matahari menelusup di dahan pepohonan yang menambah syahdu lokasi tersebut. Tidak lama kemudian kami mendapati petunjuk arah Goa Maria Lawangsih yang menjadi tujuan kami. Mengikuti penunjuk arah ke lokasi tersebut memudahkan kami untuk mencapainya, kurang lebih radius 3 kilometer dari lokasi jalanan mulai menyempit dan menjadi satu arah.
Semakin mendekati lokasi, perjalanan kami di sambut dengan pepohonan mahoni yang tinggi menjulang berbaris rapi serta suasana syahdu terasa sekali. Akhirnya kami sampai juga di lokasi tujuan kami. Pada area ini terdapat lokasi parkir kendaraan bermotor roda dua dan empat. Lahan parkir tersebut terpotong jalan raya yang menjadi akses keluar masuk menuju Goa Maria Lawangsih. Di tempat ini, kami merasakan suasana yang tenang udara segar serta ditingkahi suara percikan air yang menetes di bak air sebelah area parkir sepeda motor. Dari area parkir sepeda motor ini, saya melihat banyak tanda salib yang berjejer rapi dari satu titik ke titik yang lain.
Beny mengajak aku untuk menaiki tangga yang menjadi pintu masuk menuju Goa Maria Lawangsih. Pada anak tangga ke lima belas terdapat penunjuk arah yang bertuliskan jalan salib. Untuk menuntaskan rasa penasaran, aku bertanya kepada Beny apa yang dimaksud dengan Jalan Salib?
“Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti Jalan Salib yaitu, rangkaian lukisan (masing- masing disertai salib) berjumlah 14, yg diatur secara berurutan di dinding gereja untuk memperingati 14 tahap perjalanan Jesus ke tiang penyaliban,” jawab Beny.
Dari obrolan singkat tersebut kami meneruskan langkah menuju lokasi Goa yang berada di atas kami. Sambutan ramah dan jabat tangan oleh Pak Kasdi penjaga Goa Maria Lawangsih, kami dipersilahkan untuk melihat-lihat suasana halaman Goa tersebut. Menurut beliau, tempat ini dulunya goa yang sepi dan tidak terawat. Kurang lebih tiga tahun yang lalu tempat ini dipugar dan secara resmi menjadi tempat berdoa bagi warga Katholik secara umum.
Disela-sela obrolan aku mengalihkan pandangan yang tertuju pada halaman yang berada di depan mulut goa, terdapat altar dengan patung Bunda Maria yang disamping kanan kirinya terdapat lilin yang menyala sebagai pelita untuk keheningan berdoa. Selain altar terdapat juga bangunan joglo dengan meja yang memajang dua buah lilin yang mengapit sebuah Salib dan diterangi lampu bergaya Jawa tempo dulu.
Dalam keheningan suasana Goa Maria Lawangsih, suara percikan sumber air menambah kekhusyukan di tempat tersebut. Dibelakang patung Bunda Maria sumber mata air terus mengalir dan menjadi tempat untuk membasuh muka para pengunjung yang akan melakukan doa baik halaman depan goa ataupun dalam goa. Tidak ketinggalan pula temanku Beny ikut serta untuk membasuh muka dari sumber mata air tersebut.
Setelah membasuh muka tak lama kemudian temanku Beny melambaikan tanda pamitan untuk masuk ke dalam Goa untuk memanjatkan doa. Dari kejauhan pun aku membalas lambaiannya dan memberikan sinyal “monggo” kepadanya untuk berdoa. Hari terus bergulir dimana warna langit perlahan berubah, cahaya matahari mulai berpindah ke bagian lain dari bumi ini untuk memulai pagi.
Tempat pukul lima sore kami berdua meninggalkan Goa Maria Lawangsih untuk kembali pulang ke rumah masing-masing. Dalam perjalanan pulang, matahari yang sama menjadi saksi dua anak manusia yang memiliki kesamaan minat blusukan dari satu tempat ke tempat lainnya. Dari sini saya tersadar bahwa anugrah Allah SWT terhadap tempat kelahiran saya, benar-benar belimpah ruah dari wisata alam, budaya dan masih menyimpan sangat besar kehidupan untuk hidup bersahaja dan toleransi terhadap perbedaan yang ada.
Panggilan adzan Maghrib menyudahi perjalanan kami berdua, melambaikan tangan dan saling berpamitan menjadi menu utama untuk saling menghormati perbedaan diantara kami dan mendoakan dalam kebaikan untuk pertemanan kami yang sudah terjalin lama. (foto & teks: aanardian/kotajogja.com)