Jumlah berapa besar kematian karena Virus Corona ini akan jadi misteri. Ada kematian dalam jumlah besar yang tidak teridentifikasi. Kita lihat saat ini China merevisi angka kematian ada penambahan 50% dari total kasus, Anies Baswedan mengatakan Jakarta telah memakamkan lebih dari 1000 orang kematian dg protokol Covid sedangkan kematian kasus positif hanya 200 an. Pemerintah Pusat baru mengakui kematian se Indonesia hanya 400 an orang . Di Jogja kita lihat bagaimana kematian PDP (proses) hampir 200% kematian kasus positif.
Ketidakwajaran ini seharusnya ada yang mau menelisik lebih jauh. Kematian pada pasien PDP yang belum dinyatakan positif ini akan terus membesar dan sangat mungkin menggantung statusnya. Ketika Pemerintah membuka data jumlah kasus ODP dan PDP, namun Pemerintah tidak menyebutkan jumlah kematian PDP. Bisa juga karena datanya belum jelas, atau biasa pemerintah menyembunyikan informasi dengan alasan supaya masyarakat tidak panik. Dugaan saya melihat yang sudah ada total kematian sesungguhnya bisa 2 sampai 3 kali jumlah kematian kasus data yang dimiliki Pemerintah Pusat/Daerah.
Asumsi dengan melihat data Jogja dan DKI, dua daerah yang lebih terbuka informasi maka daerah lain pun polanya bisa tidak jauh berbeda. Kematian protokol Covid cukup besar. Kita hitung pakai contoh seperti di Jogja. Per 16 April Jumlah Kasus Positif 63, Kematian Positf 6 maka angka kematian adalah 9.5%, setara dengan tingkat kematian indonesia yang diangka itu. Jumlah kematian PDP (proses) 16, asumsikan dari 16 ini 10 positif dan 6 negatif. Maka total positif menjadi 73 dan kematian positif 16, maka tingkat kematian = 16/73 = 21%. Artinya Case Fatality Rate besar, kalau mau dibuat kecil cukup mudah, tambahkan jumlah kasus positif sebanyak banyak nya maka otomatis CFR akan turun. Namun kita jangan melihat kematian sebatas angka prosentase statistik. Lihat kembali ada kematian besar dan sebagian belum teridentifikasi. Ini belum kita hitung kematian pada ODP jumlahnya akan lebih besar lagi. Kita jadikan saja PDP karena mereka memiliki gejala medis yang sudah jelas mengarah pada Covid 19 atau masalah pnemumonia.
Ada dua kemungkinan besarnya kematian Pasien PDP yang kemudian menjadi kematian tak teridentifikasi.
Faktor Pertama, Pasien PDP yang sudah menunjukan gejala Covid-19 ketika masa perawatan kemudian meninggal sebelum dilakukan tes Swab. Meskipun dia dimakamkan dengan prosedur Covid, status kematian nya pun tidak bisa dimasukan ke dalam kematian positif Covid.
Sampai sebulan Indonesia terkena wabah Corona kita belum bisa melakukan tes secara cepat. Alat tes PCR masih sangat terbatas, belum lagi dulu sampel yang diambil harus dikirim ke jakarta. Masih menunggu hasil rilis. Akhirnya butuh waktu lama untuk menentukan status Positif. Bahkan sekian hari bahkan seminggu hanya untuk menentukan hasil Positif. Padahal kita melihat betapa ganasnya Virus Corona menyerang orang-orang yang sudah tua dan memiliki penyakit penyerta bahkan dalam hitungan hari, banyak yang hari ke 5 sd ke 7 meninggal. Bahkan sampai meninggal pun hasil belum ada sama sekali.
IDI pun pernah mengatakan sejauh ini hasil swab baru bisa didapatkan paling cepat seminggu. Hal ini menyebabkan banyaknya pasien dalam pengawasan (PDP) tak dirawat dengan standar yang sama dengan pasien positif terpapar Corona.
Pasien PDP dengan mengalami masalah komorbidnya akan jadi dilema? Jika dicampur dengan ruangan pasien umum, potensi menularkan yang lain. Ketidaksegeraan ditangani ini lah akan menjadi pendorong kepada kondisi kritis dan kematian.
Faktor Kedua, pengakuan kematian positif Corona hanya dengan sebatas alat tes. Kalau sudah dites negatif maka dia akan dianggap kematian bukan karena Virus Corona. Contoh kemarin yang heboh di Media, kejadian ada Pasien Meninggal Positif kemudian sekian hari dinyatakan Sembuh. Sebenarnya kejadian adalah Pasien yang sudah Positif Covid dan dalam proses perawatan kemudian dilakukan tes Swab kedua, belum mendapatkan hasil Pasien tersebut meninggal. Maka pasien tersebut masuk ke dalam kematian Positif Covid. Namun selang sekian hari data itu dirubah, karena hasil Swab kedua menunjukan pasien Negatif Covid19. Sehingga data kematian Positif kemudian dikurangi. Apakah salah merubah kematian Positif menjadi negatif, tentu tidak salah kalau hanya sebatas melihat hasil lab. Namun adakah pertimbangan medis? Meskipun hasil tes dia negatif namun Covid dia bisa menjadi pemberat penyakit penyerta dia. Sehingga dia meninggal karena faktor penyakit penyertanya. Apalagi kasus di Yogyakarta itu dia masih dalam proses perawatan dan belum dinyatakan sembuh.
Jika kita ingat pelajaran Kimia. Virus Corona itu seperti Katalisator, menjadi mempercepat dan memperberat komorbid. Bisa saja penyakit penyerta menjadi kambuh dan diperburuk Virus Corona dan akhirnya meninggal, meskipun hasil tes akhir Virusnya Negatif. Namun sakitnya sudah menjadi komplikasi. Memang dalam dunia kedokteran tidak boleh “Subyektif”. Keputusan harus dasar medis hasil lab. Jika sebagai dokter kita akan mengambil keputusan paling aman, tidak beresiko hukum.
Maka jika hanya menilai kematian sebatas hasil lab, maka kematian kasus komplikasi seperti ini menjadi tidak teridentifikasi sebagai kematian Covid. Silahkan dicek saja kematian terbesar adalah mereka yang punya komorbid jantung, diabetes, paru-paru, hipertensi. Pak Jubir Ahmad Yuniarto sendiri juga pernah bilang “Hampir semua pasien Positif Corona di Indonesia meninggal Punya Penyakit Pendahulu”.
Melihat Kota Besar saja masih ada kendala pada kecepatan tes swab, maka apalagi daerah yang lain. Mungkin banyak yang diluar sana selama ini belum terdeteksi. Jadi ingat Joke Mentri Afrika yag ditanya Mentri Amerika, kenapa daerah kamu tidak ada yang positif Corona. Dijaawablah Mentri Afrika, “Itu hal mudah, karena kami tidak ada alat tes nya”.
Kita kemarin termasuk negara terendah melakukan Tes PCR hampir setara dengan Banglades. Untunglah saat ini beberapa kota Besar, sudah bisa melakukan tes Swab Mandiri, sehingga sudah tidak tersentral di Pusat. Pemerintah sudah meminta bantuan rumah sakit dan juga ke Perguruan Tinggi untuk ikut menjadi laboratorium tes PCR. Diharapkan dapat mempercepat dalam mendeteksi status pasien.
Namun ingat Indonesia punya 34 Provinsi dan 500 lebih kabupaten. Permasalahan kecepatan tes Swab ini akan menjadi masalah di daerah-daerah. 1 Kabupaten di daerah bisa lebih luas 1 Provinsi di DIY. Belum kendala jarak, kesiapan faskes, transportasi, komunikasi dll. Maka ini PR berat ke depan jika Covid sudah menyebar ke pelosok.
Selama masalah dalam dua hal itu maka kematian misterius ini akan tetap menjadi misteri yang tak terungkap. Kenapa negara maju tumbang dengan kematian besar, bisa saja 2 faktor : mereka cepat melakukan tes sehingga bisa mendiagnosa dengan cepat atau juga karena yang sedang dirawat meninggal maka anggap lah itu meninggal covid karena komplikasi yg disebabkan tanpa peduli hasil tes akhirnya adalah negatif ntah lah..
Yang penting adalah tranparansi dan kejujuran supaya jadi pengetahuan dan pembelajaran kedepan bagi bangsa ini.
(yuda w putra)
Foto :kompas.com