Meskipun Yogyakarta menyandang predikat salah satu kota besar di Indonesia, namun Jogja juga terbilang memiliki biaya hidup yang murah dibanding kota-kota besar lainnya. Upah Minimum Regional di kota pelajar inipun masih tergolong rendah. Pada tahun 2016 ini, UMR Kota Yogyakarta naik Rp 1,452 juta yang sebelum hanya di kisaran Rp 1,2 jutaan.
Meskipun masih terbilang rendah, namun UMK Kota Yogyakarta bisa dibilang relative tinggi dibanding kabupaten lain yang ada di DIY. Contohnya UMK Kabupaten Sleman hanya Rp 1.338 juta, Kabupaten Bantul Rp 1.297 juta, Kabupaten Kulon Progo Rp 1.268 dan Kabupaten Gunungkidul Rp 1.235 juta.
Murahnya biaya hidup di Jogja memang bukan tanpa alasan. Menurut Dodo Putra Bangsa, salah satu aktivis Jogja Asat, murahnya biaya hidup termasuk harga makanan itu karena Jogja bukanlah kota industri. Hampir semua lini perekonomian digerakan oleh sektor pariwisata.
Tolak ukur murahnya biaya hidup di Jogja salah satunya bisa dilihat dari harga makanan. Hanya dengan Rp 8ribu saja warga bisa makan sampai kenyang. Itu pun sudah ditambah dengan es teh. Contohnya harga makanan di angkringan, seporsi nasi kucing rata-rata dijual Rp 1500 per bungkusnya. Sedangkan harga teh manis hanya Rp 2500.
Meskipun UMR di jogja telah ditetapkan di atas satu juta, namun banyak juga pegawai toko di pusat perbelanjaan yang mendapatkan upah jauh di bawah UMR. Rata-rata para pegawai toko tersebut hanya menerima gaji Rp 700 ribu.
Sebagai contohnya, banyaknya warga Sleman atau Gunungkidul yang merantau ke Kota Yogyakarta. Banyak dari mereka yang tinggal di kos-kosan di bantaran Kali Code yang sewa perbulannya tidak sampai Rp 100 ribu.
Faktor lain yang membuat perantau bertahan adalah adanya sikap nrimo (menerima). Hal ini membuat para pekerja di Jogja tidak banyak menuntut seperti di kebanyakan kota besar lainnya seperti Jakarta.
Faktor lainnya adalah karena sebagian besar warga Jogja masih memegang aliran Sabdo Pandhito Ratu (mengikuti sabda raja). Faktor inilah yang kemudian melekat kuat hingga menjadi prinsip hidup orang Jogja. Apalagi sikap menerima ini banyak dipercaya menjadi ciri khas orang-orang di tanah jawa.
Seperti juga permasalah Malioboro pada waktu lalu. Banyak pedagang baik itu pedagang kaki lima maupun pemilik toko hingga para juru parkir mengeluhkan berkurangnya omset harian mereka. Meski demikian, mereka tetap menerima kondisi tersebut. Hal itulah yang menjadi kunci untuk menjalani hidup di Yogyakarta.
“La piye neh (lah gimana lagi). Kita kan wong cilik. Kita manut saja sama pemerintah. Nek mboten manut malah ciloko toh. Wis oleh dagang (sudah boleh jualan) di sini saja wis seneng. Nek sepi ya urusan sing ngatur rezeki to mas,” ungkap Hertanto, salah seorang pedagang di Jalan Malioboro. (berbagai sumber)
Tradisi turun temurun.
Informasi yang berguna. Terimakasih..