KOTAJOGJA.COM – Lautan manusia memadati Alun-alun Utara hingga pintu gerbang Masjid Gedhe untuk mengikuti prosesi Grebeg Maulud dengan membawa Gunungan sebagai puncak acara Sekaten yang telah berlangsung selama satu bulan. Tumpah ruah mejadi satu dengan berbagai kepentingan untuk menikmati Grebeg Sekaten ini.

Tentang Grebeg Sekaten

grebek-sekaten-7
Ribuan Orang “Ngrayah” Gunungan Sekaten

Grebeng adalah prosesi adat sebagai simbol sedekah dari pihak Kraton Yogyakarta kepada masyarakat berupa gunungan. Kraton Yogyakarta dan Surakarta setiap tahunnya selalu mengadakan upacara grebeng sebanyak tiga kali pada heari besar Islam, yaitu Grebeg Syawal pada Hari Raya Idul Fitri, Grebeg Besar bertepatan pada Hari Raya Idul Adha dan Grebeg Maulud yang lebih populer Grebeg Sekaten pada peringatan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW.

Kata grebeg berasal dari kata gumrebeg yang memiliki filosofi sifat riuh, ribut dan ramai. Tidak ketinggalan pula kata gunungan memiliki filosofi dan simbol dari kemakmuran yang kemudian dibagikan kepada rakyat. Gunungan di sini adalah representasi dari hasil bumi (sayur dan buah) serta jajanan (rengginang).

grebek-sekaten-3
Bregada Surakarsa Memasuki Komplek Masjid Gedhe Kauman

Pada Grebeg Sekaten, gunungan yang dijadikan simbol kemakmuran ini mewakili keberadaan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Gunungan yang digunakan bernama Gunungan Jaler (pria), Gunungan Estri (perempuan), serta Gepak dan Pawuhan. Gunungan ini dibawa oleh para abdi dalem yang menggunakan pakaian dan peci berwarna merah marun dan berkain batik biru tua bermotif lingkaran putih dengan gambar bunga di tengah lingkarannya. Semua abdi dalem ini tanpa menggunakan alas kaki alias nyeker.

Prosesi Kirab Gunungan dimulai dari Kori Kamandungan sebagai titik awal kirab Grebeg untuk dibawa menuju halaman depan Masjid Gedhe. Tembakan salvo menjadi tanda dimulainya kirab. Dari Kamandungan, gunungan dibawa melintasi Sitihinggil lalu menuju Pagelaran di alun-alun utara untuk diletakkan di halaman Masjid Gedhe dengan melewati pintu regol.

grebek-sekaten-6
Salah Satu Pengunjung Menunjukkan Hasil Rayahan

Prajurit Wirobrojo yang dikenal dengan prajurit lombok abang –karena pakaiannya yang khas berwarna merah-merah dan bertopi Kudhup Turi berbentuk seperti lombok– mempunyai tugas sebagai cucuking laku alias pasukan garda terdepan di setiap perhelatan upacara kraton. Sebelum memasuki acara puncak ‘rebutan gunungan’ serah terima pengawalan gunungan dilakukan, dari prajurit Wirobrojo ke prajurit Bugis yang berseragam hitam-hitam dengan topi khas pesulap serta ke prajurit Surakara yang berpakaian putih-putih. Setelah gunungan diserahkan kepada penghulu Masjid Gede untuk didoakan oleh penghulu tersebut, gunungan pun dibagikan.

Selesai doa diucapkan, gunungan pun sontak direbut oleh masyarakat yang datang dari seluruh penjuru Jogja. Memang ada kepercayaan dari masyarakat bahwa barangsiapa yang mendapat bagian apa pun dari gunungan tersebut, dia akan mendapat berkah. Kegiatan ‘ngrayah’ atau berebut mengambarkan sebuah filosofi bahwa manusia dalam kehidupannya untuk mencapai tujuan harus berani melakukan persaingan dan permasalahan hidup harus dihadapai bukan untuk dihindari.

Selain prosesi ‘ngrayah’ terdapat pula ciri khas dari Grebeg Sekaten ini, yaitu telur merah yang akrab disebut ‘ndog abang’ yang ditusuk dengan bambu dan dihiasi kertas sebagai bunga-bunga untuk mempercantiknya. Saya sempat bertanya arti filosofi telur merah kepada ibu penjual tersebut. Menurut Ibu Wagirah, telur adalah bentuk permulaan kehidupan, sedangkan bambu yang menusuk telur tersebut perlambang bahwa semua kehidupan di bumi ini memiliki poros yaitu Gusti Alloh. Warna merah artinya keberuntungan, rejeki, berkahdan keberanian. (aanardian)